Memutus Rantai Malu HIV/AIDS

TEMPO Interaktif, Jakarta : Ingin yakin bebas virus penurun daya tahan tubuh penyebab AIDS tapi malu berkonsultasi langsung? Jangan khawatir, mulai Senin pekan ini, Anda tinggal mengetik www.mautau.com untuk mendapat advis dan uji pendahuluan lewat fasilitas chatting alias ngobrol lewat Internet. ”Kami ingin membantu orang melawan stigma untuk mengetahui status apakah tertular virus yang mematikan itu,” ujar Direktur Program Yayasan Karya Peduli Kita (Kapeta) Alita Poedjioetomo Damar kepada Tempo Rabu pekan lalu. Yayasan inilah yang menggagas situs tersebut.

Biasanya, layanan voluntary counseling and testing (VCT) atau tes uji ketertularan HIV secara sukarela mengharuskan orang datang langsung ke rumah sakit atau tempat layanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Namun cara ini tak efektif. Menurut Alita, tiap bulan paling hanya 20 orang yang ”berani” melakukan tes sukarela itu. Ini akibat stigma publik terhadap penderita HIV/AIDS.

Padahal upaya pencegahan HIV di Indonesia baru menjangkau sekitar lima persen dari kelompok berisiko—seperti pelaku hubungan seks tidak aman dan pengguna narkotik dengan jarum suntik. Sedangkan laju penularan HIV di sini tergolong tercepat di Asia Tenggara. Data pemerintah hanya mencatat sekitar 18 ribu orang pengidap HIV. Sedangkan menurut Ketua Perhimpunan Dokter Peduli AIDS, Samsuridjal Djauzi, diperkirakan yang terinfeksi HIV mencapai 270 ribu orang.

Di banyak negara, tes HIV diwajibkan bagi yang akan memasuki dunia kerja. Malaysia, diikuti Arab Saudi tahun ini, mewajibkan pasangan yang akan menikah mengikuti uji HIV. Kewajiban seperti itu memang belum diterapkan di Indonesia. Namun ada pihak tertentu yang mensyaratkan tes tersebut. Misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mewajibkan calon wakil rakyatnya ikut tes tersebut.

Keberadaan situs mautau bisa menjadi solusi bagi yang enggan atau malu melakukan tes HIV. Menurut Alita, master lulusan Universitas Afrika Selatan spesialisasi perilaku sosial AIDS, cara kerja situs ini sangat mudah sekaligus melindungi identitas orang yang ingin dites.

Pengakses tidak diminta mengungkapkan identitas sebenarnya, hanya mengisi username. Setelah mendapat persetujuan dari pengelola situs, pengakses dijadwalkan melakukan konsultasi pra-tes dengan cara chatting tertutup dengan penyuluh besertifikat dari Departemen Kesehatan. Lalu klien membaca informasi hasil konseling dan mengunduh persetujuannya untuk tes HIV. ”Formulir tes tak mencantumkan kata HIV, hanya kode,” kata Alita.

Formulir tersebut dicetak dan dibawa ke laboratorium yang ditunjuk pengelola situs. Di laboratorium, klien hanya menyerahkan formulir dan melakukan tes, tanpa ditanya apa-apa. Hasil tes akan disampaikan kepada klien pada saat konseling pasca-tes juga melalui chatting. Bila hasil tes positif, klien dianjurkan datang ke Yayasan Kapeta atau lembaga swadaya yang bekerja sama untuk konseling tatap muka, untuk selanjutnya mendapat pengobatan.

Program VCT online ini dikelola oleh empat orang. Menurut Alita, biayanya diambil dari program pemberdayaan masyarakat perusahaan pribadi pengelola Yayasan Kapeta—yayasan yang didirikan para orang tua yang anaknya kecanduan narkotik dan obat terlarang. ”Kami bekerja sukarela,” ujarnya.

Alita dan kawan-kawan berharap situs berbasis teknologi Internet yang dikelolanya dapat membantu menekan lajunya epidemi HIV di Indonesia. ”Ini pertama di Indonesia, juga mungkin di dunia,” ujarnya.

 

Sumber: gaya.tempo.co

Bagikan

Berita Terbaru